by : Praditya Ashtan
Berparas cantik, anggun,
murah senyum, dan ceria. Itulah ungkapan yang patut diutarakan kepada gadis berkacamata
itu, yang entah kurasa dia selalu mencoba mengalihkan perhatianku dari
kesibukan dunia ini. Bunga namanya. Tak salah orang tuanya menamainya demikian,
karena hatiku selalu berbunga-bunga saat kedua mata kami saling bertemu.
Perasaan ini mulai muncul ketika pertemuan pertama kami pada acara pesta dansa
di sekolah. Sungguh tak kuduga, dia adalah salah satu gadis terpopuler di
sekolahku. Semua mata terpana karena kecantikannya. Tak seorang pun yang bisa
berpaling dari gerak-gerik perilakunya yang benar-benar anggun. Hati kecilku
berkata, apakah aku siap untuk bersanding dengan gadis seperti dirinya?
Mungkinkah dia pilihan hatiku? Atau, inikah yang disebut berkhayal tingkat
tinggi? Entahlah, namun aku yakin perasaan ini benar-benar tulus.
Keesokan harinya seperti
sediakala, kutelusuri koridor sekolah menggunakan jurus langkah seribu karena
bel masuk sudah berteriak-teriak di seluruh sudut sekolah. Namun langkahku
terhenti saat kusadari seorang gadis terjatuh tepat di hadapanku. Sekilas dia
menatapku. Oh, Bunga rupanya! Segera kubantu dia menguasai dirinya. Dia
memegangi kepalanya seakan menahan rasa sakit yang merayap di kepalanya.
“Apakah kamu baik-baik
saja?” ucapku dengan nada cemas.
Dia segera berdiri setelah
aku mencoba menolongnya. “Tentu, terima kasih bantuannya,” sahut Bunga sambil
memberikan senyum manisnya kepadaku.
Oh Tuhan, serasa jantung ini
berada di arena pacu! Tidak kusia-siakan momen langka ini. Segera kubalas
senyum manisnya dengan senyum menawanku yang selalu siap meluluhlantakkan hati
para gadis. Sayangnya momen ini berakhir dengan cepat. Mengingat jam pelajaran
akan segera dimulai, Bunga segera meninggalkanku. Aku pun segera berdiri dan
berjalan ke arah kelas. Setelah sepuluh langkah pertama aku berpaling ke arah
Bunga. Tampak dia berjalan dengan anggun menelusuri koridor sekolah. Sampai
jumpa Bunga, semoga kita bertemu dilain waktu!
“Teet...Teet...!” jam
istirahat telah tiba. Saatnya seluruh siswa menghajar rasa lapar dan dahaga.
Semua menjelma menjadi semut yang berhamburan memenuhi sudut sekolah, tak
terkecuali dengan diriku. Bersama Irfan, kucoba satu persatu makanan yang
memenuhi kantin sekolah. Irfan adalah sahabat karibku sejak kami duduk di
bangku Sekolah Dasar. Banyak momen berharga yang telah kami lalui bersama demi
mencari jati diri masing-masing.
Setelah menseleksi makanan
yang akan kami santap, kami menuju taman sekolah untuk mencari udara segar.
Sambil mengisi perut kami, kami menyempatkan diri berkunjung ke dunia maya untuk
sekedar menyapa teman-teman di jejaring sosial. Saking asyiknya kami tidak
menyadari ada seorang gadis berdiri di sebelah kami.
“Irfan, asyik banget. Lagi
apa?” sapa gadis itu ramah.
“Eh Bunga!” sahut Irfan
dengan lantang. “Ini lagi update
status.”
Mendengar Irfan menyebut
nama Bunga, mataku secepat kilat berpaling ke arah gadis itu. Oh, tidak salah
lagi, gadis itu sama dengan gadis yang kutemui di koridor sekolah tadi. Secepat
inikah, Tuhan mengabulkan doaku?
Hatiku tidak segan-segan
berpacu lebih cepat, sampai-sampai aku takut Bunga bisa mendengarnya. Karena
khawatir terjadi suatu hal yang memalukan, aku mencoba menyibukkan diri dengan
ponselku. Aku dapat mendengar dengan jelas semua pembicaraan antara Irfan dan
Bunga. Nampaknya mereka sudah lama kenal.
“Hai?” sapa Bunga kepada
seseorang.
Dengan cepat Irfan mensiku
lenganku begitu keras. “Aduh!”. Baru kusadari bahwa Bunga mencoba menyapaku
dengan senyum manisnya yang sudah familiar di memori otakku. “Hai, juga!”
ucapku santai.
“Kamu yang tadikan? Kita
belum kenalan, namaku Bunga. Kamu?” sambil menjabat tanganku.
Tanpa berpikir panjang,
segera kusambut tangannya, “Namaku Radit. Senang berkenalan denganmu!”
“Sama-sama, Radit!” sekali
lagi dengan senyum manisnya.
Apa? Dia menyebut namaku.
Apa aku tidak salah dengar? Mengapa tubuhku gemetar saat dia menyebut namaku?
Saking girangnya, makanan dan ponselku terlepas dari genggamanku. Oh sialan,
mengapa hal ini harus terjadi!
“Dit, kamu baik-baik
sajakan?” kata Irfan.
“Tentu, aku permisi ke kelas
dulu ya,” ujarku sambil berdiri dan meninggalkan mereka berdua.
Sebenarnya aku tidak menuju
ruang kelas, melainkan bersembunyi di balik pohon besar di dekat taman sekolah.
Aku takut hal memalukan lainnya akan terjadi jika terus di dekat Bunga. Aku
amati Bunga dengan Irfan semakin asyik mengobrol. Bunga mengambil tempat duduk
di samping Irfan yang tadinya aku duduki. Ada hubungan apa antara mereka
berdua? Semoga tidak lebih dari sekedar teman.
Matahari bersinar cukup
terik siang ini. Seakan menjilat-jilat kulitku yang sudah matang kepanasan. Aku
memacu motorku lebih cepat, agar secepat mungkin tubuhku terlindungi dari
panasnya oven bumi ini. Sesampainya di rumah, segera kulepas seragam sekolahku
yang serasa sudah lengket dengan kulit tubuhku. Inilah konsekuensi tinggal di
daerah tropis, benar-benar melelahkan! Namun perlahan semua rasa lelah itu
hilang bersama tiupan angin yang terhembus dari jendela kamarku.
Di tengah asyiknya
merebahkan diri di atas sofa, tiba-tiba bayangan gadis itu melintas di benakku.
Seakan energi di dalam tubuh ini telah terisi kembali, setelah mengingat senyum
manisnya yang menggetarkan hati. Apakah ini namanya jatuh cinta? Tanpa kusadari
aku berteriak dengan lantang “AKU MENCINTAIMU!”
“Apa? Mencintai apa? Eh,
maksud Mama mencintai siapa?” terdengar suara Mama tepat di samping sofa.
“Apa? Nggak!” sahutku
kebingungan. Oh sial, apa yang barusan aku katakan?
“Kamu tidak boleh pacaran
dulu sampai bisa membanggakan Mama!” ucap Mama.
“Jadi selama ini aku tidak
pernah membuat Mama bangga?” jawab aku dengan nada kesal.
“Paling tidak sampai kamu
lulus ujian dengan nilai memuaskan,” sahut Mama sedikit menyindir.
“Oke, akan aku buktikan aku
bisa lulus dengan nilai memuaskan, sehingga Mama bisa bangga padaku, tidak sama
kakak saja!”
“Baguslah, Mama harap kamu
bisa sukses seperti kakakmu. Dan jangan buat Mama malu!”
“Siapa takut,” jawabku
lantang.
Setelah puas menasehati anak
tampannya ini, Mama segera meninggalkanku bersama kemocengnya yang sedari tadi
berada di genggamannya. Benar-benar membosankan! Aku harus lulus sekolah dulu
baru bisa menyatakan cintaku? Oh tidak! Mama tidak tahu bagaimana ketatnya
persaingan cinta demi mendapatkan gadis terpopuler di sekolahku.
“Ring...Ding...Dong...!”
rupanya ada pesan masuk. Tapi anehnya nomer itu tidak ada dalam daftar
kontakku.
“Sekali lagi terima kasih
atas bantuanmu,” isi pesan itu.
“Maaf, ini siapa?” balasku.
“BUNGA,” jawabnya. Apa?
Apakah Irfan memberi nomer ponselku kepadanya? Benar-benar jenius anak itu,
tidak salah aku jadikan dia sebagai sahabat kabiku selama ini.
“Tidak masalah, aku senang
bisa membantumu. Ngomong-ngomong, kamu sudah kenal Irfan sejak lama, ya?”
“Sejak kami mengikuti ekskul
fotografi bersama-sama. Memangnya kenapa? Kamu teman baiknya sejak SD kan?”
jawab Bunga cepat.
“Tidak apa-apa. Dia pasti
sudah cerita banyak tentangku, bukan? Apa saja yang telah dikatakannya padamu?”
balasku sedikit panik.
“Tidak banyak. Katanya kamu
jago taekwondo, mengkoleksi sneackers
dan moccasins, suka film romance, suka jailin orang. Kurasa cuma
itu,” jawab Bunga.
Kurasa hobiku menggambarkan
pria modern masa kini, jadi aku cukup bangga dengan hobiku. Kecuali yang
terakhir “suka jailin orang”, kenapa Irfan harus mengatakan hal itu padanya?
Biarlah, yang penting Bunga tahu kalau aku jago taekwondo dan siap
melindunginya kapanpun dan dimanapun.
Siang pun berganti malam.
Begitu pula dengan suasana hatiku yang berubah kelam. Mengapa setiap jam
belajar semuanya terasa membosankan. Padahal aku sudah janji sama Mama akan
membuatnya bangga. Memangnya yang bisa jadi dokter kakak saja, aku juga bisa!
Walau bagaimanapun aku harus sukses ujian. HARUS!
Setelah tiga jam berlalu,
rasanya lelah dan mengantuk. Saatnya berlabuh di pulau kapuk, semoga Bunga
muncul di dalam mimpiku.
Hari telah berganti. Sang
mentari masih malu-malu untuk menampakkan sinar hangatnya. Begitu pula denganku
yang masih malu-malu untuk menampakkan wajahku dari balik selimut. Bunyi alarm
tidak sanggup membuatku beranjak dari tempat tidur. Sampai tiba-tiba terdengar
seseorang berteriak tepat di depan telingaku.
“Radit, ada seorang gadis
cantik menunggumu di bawah!” kata Mama dengan lantang.
Pikiranku langsung tertuju pada
Bunga. Tanpa membuang waktu, secepat kilat kuturuni tangga dan segera menuju
ruang tamu. TIDAK ADA. Menuju halaman depan. TIDAK ADA. Mungkin di depan
gerbang. TIDAK ADA. Aku berlari ke dalam rumah mencari Mama.
“Ma, dimana gadis itu?”
ucapku penuh harap.
“Tentu saja di rumahnya,”
jawab Mama dengan santai. “Maaf, Mama bercanda. Soalnya kamu sulit dibangunin.
Sudahlah, pergi mandi sana!” sahut Mama sambil tersenyum puas.
Oh, menyebalkan! “Jangan
mengulainya lagi!”
“Jangan memikirkannya lagi!”
Sesampainya di sekolah, aku
berjalan menuju kelas dengan perasaan bahagia. Aku berharap bertemu Bunga lagi
hari ini. Saat pelajaran berlangsung, aku berniat untuk membeli alat tulis di
koperasi sekolah. Aku berjalan melewati kelas-kelas menuju koperasi. Hingga
langkahku terhenti tepat di sudut lapangan. Hari ini jadwal kelas Bunga
berolahraga. Tampak Bunga sedang mengikuti gerakan senam dengan anggunnya.
“Wow, lihat gadis itu cantik
sekali!” ucap anak laki-laki di belakangku yang sedang berbicara kepada
temannya.
“Jangan coba-coba dekati
dia!” kataku dengan lantang kepada mereka.
“Masalah buat loe?” kata
anak itu sinis.
Tiba-tiba seseorang
memanggilku dari kejauhan. “Radit!”
Gadis itu berlari menuju
arahku dengan senyum manisnya yang khas. Siapa lagi yang punya senyum semanis
itu?
“Oh, cowoknya!” kata anak
laki-laki dibelakangku.
Dalam hati aku berkata,
semoga perkataanmu menjadi kenyataan!
“Hai, kamu sedang apa?” kata
Bunga ramah.
Tidak mungkin aku jawab,
sedang mengamatimu berolahraga! Bisa-bisa bikin malu. “Oh, aku mau beli alat
tulis di koperasi.”
“Sore nanti kamu ada acara, tidak?”
kata Bunga.
Apakah dia mau mengajakku dating? “Sore nanti aku ada latihan
taekwondo. Memangnya kenapa?”
“Oh, aku mau pergi ke
pameran fotografi sore nanti. Awalnya aku mau ajak kamu. Tapi berhubung kamu
ada acara aku ajak orang lain saja,” ucap Bunga tetap ramah.
“Siapa?” ucapku gelisah.
“Belum tahu. Irfan mungkin!”
“Jangan! Maksudku, aku bisa
menamanimu sehabis latihan taekwondo. Bagaimana?” sahutku penuh harap.
“Baiklah, setuju. Nanti aku
jemput di Gedung Taekwondo,” ucap Bunga sambil berlari ke lapangan kembali.
“Apa? Tapi...,” kata-kataku
terhenti. Apakah dia tahu letak Gedung Taekwondo tempat latihanku? Entahlah.
Jarum jam tepat menunjukkan
pukul 15.00, saatnya latihan taekwondo. Aku akhir-akhir ini sering absen,
takkan kubiarkan para juniorku menyelipku. Maklumlah, akukan salah satu senior
di klub taekwondo milik pamanku itu. Sesampainya di sana aku langsung bergabung
dengan lainnya. Melatih jurus-jurus baru untuk menghadapi lawan. Banting sana!
Banting sini! Tak ada yang bisa mengalahkanku. Kalau lawannya begini-begini
saja kapan kemampuanku bisa bertambah!
“Dit, ada anak perempuan
menunggumu di sana,” kata paman sambil menunjukkan anak perempuan itu.
“Bunga?” ucapku tiba-tiba.
“Bunga? Bunga apa? Anak itu
kelihatannya tidak bawa bunga,” sahut paman heran.
“Oh, bukan. Gadis itu
namanya Bunga,” jelasku pada paman.
“Oh begitu. Ya sudah cepat
temui dia, jangan pernah membuat gadis secantik dia menunggu!” ucap paman
sambil tersenyum lebar.
“Siap bos.”
Dari kejauhan Bunga
melambaikan tangannya kepadaku. Beberapa langkah kemudian aku tepat dihadapan
Bunga. Dia menyambut kedatanganku dengan senyumnya. Sore itu dia memakai
setelan warna merah muda, dan stiletto hitam
pekat yang menghiasi kakinya. Apakah kamu Bunga yang selama ini aku kenal?
Ataukan Bidadari yang menjelma sebagai anak gadis? Gumamku dalam hati.
“Hai,” sambut dia ramah.
“Hai juga. Maaf telah
membuatmu menunggu,” ucapku sambil tersenyum kepada gadis itu.
“Seharusnya aku yang meminta
maaf karena mengganggu latihanmu.”
“Aku tidak keberatan
menemani gadis secantik kamu,” ucapku sedikit berbisik.
Bunga tersenyum lebar dan
sedikit salah tingkah. “Kau suka bergurau! Apakah kita akan terus di sini?”
“Tunggu sampai aku kembali!”
sahutku kepadanya.
Tanpa mengulur waktu, aku
segera menuju ruang ganti. Aku tidak mau membuatnya menunggu lama. Segera
kulepas baju karateku dan tiba-tiba
ada yang terlupakan. Di mana baju gantiku? Apa ketinggalan di ruang latihan?
Tiba-tiba pintu terbuka sebagian. Muncul tangan seseorang dari balik pintu itu.
“Apa kau membutuhkan ini?”
kata seseorang di balik pintu sambil menunjukkan handbag biru kepadaku.
“Ya, itu milikku. Terima
kasih. Bunga,” kataku dengan pasti.
“Sama-sama,” ucapnya tanpa
menoleh sedikitpun ke arahku.
Aku tahu alasan dia tidak
menoleh ke arahku. Dia tidak mau melihatku dalam keadaan telanjang dada.
Padalah dia tidak akan rugi melihat tubuhku yang atletis. Gumamku sambil
senyum-senyum sendiri.
Setelah semuanya selesai,
aku dan Bunga segera menuju Galeri Foto yang sedang mengadakan pameran
fotografi. Letak Galeri itu kurang lebih 100 meter dari Gedung Taekwondo. Jadi
kami memutuskan untuk berjalan kaki sambil menikmati suasana sore hari di
sekitar situ.
Sepanjang perjalanan, kami
saling bergurau satu sama lain. Pengalaman paling berkesan ini tak akan
kulupakan. Bahkan akan aku prasastikan di dalam hatiku.
Sesampainya di Galeri kami
terkejut karena banyak sekali yang berkunjung. Orang-orang banyak yang terkesan
dengan karya-karya fotografi yang dipamerkan. Begitu pula denganku. Banyak
karya-karya pemula maupun senior yang ditampilkan. Karya fotografi milik Bunga
juga ada di sana.
“Ini karyamu? Wow, benar-benar
mengesankan! Pengambilan gambar dan cahayanya benar-benar sempurna,” ucapku
mencoba memilih kata-kata yang tepat untuk memujinya, walaupun aku kurang
begitu mengerti tentang fotografi.
“Terima kasih,” kata Bunga malu-malu.
“Kapan-kapan kamu bisa mencobanya,” sambung Bunga.
“Kurasa aku tak punya bakat
dalam fotografi,” kataku dengan yakin.
“Kamukan belum mencoba.”
“Ya, mungkin. Kapan-kapan,”
ucapku ragu.
Setelah puas menyegarkan
mata kami, kami melangkahkan kaki kami menuju taman kota yang letaknya tak jauh
dari Galeri Foto. Suasana di sekitar sini sangat tenang dan damai, tidak
seperti di dalam Galeri. Pohon-pohon yang rindang, gemericik aliran sungai, dan
kicauan burung kenari membuat suasana taman menjadi asri.
“Tunggu di sana sebentar
ya,” ucapku sambil menunjukkan kursi panjang di tengah taman.
“Kau mau kemana?” tanya
Bunga.
“Aku ada urusan sebentar,”
jelasku padanya.
Delapan menit berikutnya aku
datang membawa sepasang balon dan es krim untukku dan untuk Bunga. Nampaknya
Bunga sedikit terkejut melihatku dari kejauhan. Tapi aku bisa melihat senyum
tipis yang tersungging di bibirnya. Apakah dia akan menyukainya? Lihat saja
nanti.
“Apa itu?” kata Bunga heran.
“Apa lagi. Ini balon, ini es
krim,” sambil kuangkat kedua tanganku.
“Tentu saja. Maksudku untuk
apa?”
“Karena aku membeli
sepasang. Satu untukmu, satu lagi untukku,” jelasku pada Bunga.
“Seperti anak kecil saja!”
kata Bunga sambil tersenyum tipis.
“Kenapa? Kau tidak suka?”
“Bukan begitu. Berikan
padaku!” ucap Bunga tiba-tiba. “Terima kasih, Radit!” kata Bunga agak manja.
“Sama-sama.”
Kami saling berpandangan dan
tertawa bersama-sama. Kami duduk bersebelahan di bangku panjang di tengah taman
sambil menikmati es krim yang dari tadi hampir meleleh. Bunga tampak menikmati
momen bahagia ini. Betapa senangnya diriku bisa menghabiskan waktu bersamanya.
“Kurasa sudah hampir larut,”
kata Bunga sambil menatap langit.
“Kurasa begitu, ayo kita
pulang! Aku antar kamu sampai rumah ya?” ucapku penuh perhatian.
“Aku bisa naik taksi kok,
kamu langsung pulang saja,” sahut Bunga.
“Biarkan aku mengantarmu
sampai rumah. Ini sudah larut, kamu sebaiknya jangan pulang sendirian,” jelasku
pada Bunga.
“Baiklah kalau begitu,” kata
Bunga menyerah.
Lima belas menit waktu yang
harus ditempuh untuk sampai di rumah Bunga menggunakan chevy milikku. Sesampainya di depan gerbang, Bunga berpamitan
kepadaku. Dia berterima kasih kepadaku karena sudah repot-repot mengantarkannya.
Lagipula siapa yang merasa direpotkan? Ini adalah suatu kesempatan! Bunga
melangkahkan kakinya menuju pintu gerbang. Tiba-tiba dia menoleh, tersenyum
kepadaku, dan melambaikan tangannya.
Hari-hariku bersamanya
selalu menyenangkan. Kami sering tukar-menukar pengalaman, berbagi cerita,
bersenda gurau baik dikala suka maupun duka. Namun apakah dia tahu, bahwa
hatiku menginginkan lebih dari ini. Aku benar-benar mengaguminya sejak awal
kami berjumpa sampai detik ini. Tahukah kau Bunga? Aku ingin menjadi sesuatu
yang berharga di dalam hatimu. Aku ingin menjadi hal terindah yang pernah
engkau miliki. Bukan karena apa, karena aku tulus mencintaimu. Bahkan disaat
semua orang tidak pernah percaya lagi padaku, percayalah aku mencintaimu sampai
detak terakhir jantungku.
Sampai suatu masa. Ketika
tuntutan pendidikan telah sampai pada puncaknya. Dengan berat hati kami harus
membatasi kedekatan di antara kita. Ini semua demi kebaikanku dan kebaikannya.
Aku juga telah berjanji kepada Mama dan tidak akan pernah mengecewakannya. Aku
harus fokus ujian dan meraih prestasi gemilang. Namun aku berjanji di dalam
hatiku, setelah semuanya selesai aku
akan menyatakan perasaanku kepada gadis itu. Anggap saja ini adalah hadiah dari
semua kerja kerasku.
“Wah, ini baru anak Mama,”
kata Mama senang saat melihatku belajar.
“Benarkah? Memangnya
sebelumnya aku bukan anak Mama?” kataku bergurau.
“Jangan bergurau, terus saja
belajar!” kata Mama sambil berjalan keluar.
Tiba saatnya hari yang tak
pernah kunantikan. Hari dimana frekuensi detak jantung berlipat ganda. Namun
aku yakin semua akan berjalan mulus. Aku siap untuk pertempuran ini. Semua
bekal dirasa cukup untuk melumpuhkan soal-soal ujian. Kulangkahkan kakiku
perlahan menuju medan pertempuran. Tiba-tiba seseorang menepuk punggungku dari
belakang.
“Semoga sukses,” ucap Bunga
kepadaku.
“Kamu juga,” ucapku
kepadanya.
Kami hanya bicara singkat
mengingat waktu ujian segera dimulai. Pagi itu wajah Bunga terlihat pucat pasi.
Apakah dia kelelahan menyiapkan bekal untuk ujian? Apakah ada sesuatu hal yang
terjadi padanya? Semoga dia dapat melewati semua ini dengan lancar.
Bel berbunyi tanda ujian
telah dimulai. Sebelum mengerjakan soal, kusempatkan untuk berdoa demi
kelancaran dan keberhasilanku. Kubuka mata lebar-lebar, konsentrasi, dan siap
mengerjakan. Semuanya dapat aku lalui dengan mudah. Begitu pula dengan
hari-hari berikutnya. Hingga tak terasa semuanya telah berlalu.
Apa yang hendak aku tunggu?
Mungkinkah ini saat yang tepat untuk melakukannya? Ataukah aku harus berpikir
lagi? Bukankah tidak baik membuang-buang waktu? Ya, aku harus menemuinya
sekarang.
Langit terlihat kelam seakan
ingin meneteskan air hujan. Langkah demi langkah kutelusuri jalanan diiringi
gemuruh awan yang ingin mencoba menyampaikan suatu pesan. Angin jalanan
menghantam tubuhku dengan percuma. Begitu sampai di rumahnya terlihat pintu
gerbang terbuka lebar. Aku mencoba masuk dan mengetuk pintu rumahnya. Tiba-tiba
seseorang dari dalam rumah membuka pintu itu dengan tergesa-gesa.
“Oh, ada yang bisa saya
bantu,” kata orang itu sambil terisak.
“Apakah Bunga sudah pulang?”
“Apa kamu tidak tahu?” kata
orang itu balik bertanya.
“Tidak. Seminggu ini aku
belum menemuinya,” jelasku padanya.
“Bunga masuk Rumah Sakit,
dia menderita tumor otak,” jelasnya.
Detak jantungku berhenti
sesaat. Bibirku terasa kaku untuk mengucapkan sepatah kata. Tubuhku mendadak
mati rasa. Dan pikiranku langsung tertuju padanya. Setelah menanyakan alamat
Rumah Sakit itu, aku segera berlari dengan kencang di bawah guyuran air hujan
dan angin badai yang mencoba merobohkanku. Namun, semua itu tidak ada artinya.
Sesampainya di depan ruang iccu terlihat kedua orang tua dan
teman-teman Bunga yang terduduk lemas. Bahkan sebagian orang berluluran air
mata. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Apakah dia baik-baik saja?
“Kemana saja kau? Aku
berulang kali mencoba menghubungimu tetapi tidak ada jawaban,” kata Irfan
sambil berjalan ke arahku.
Aku tidak sepenuhnya
mendengarkan kata-katanya. Saat ini yang ada di pikiranku hanyalah Bunga. “Apa
yang terjadi?” kataku dengan lemas.
Irfan menggelengkan kepalanya
dan mencoba memeluk tubuhku yang basah akan air hujan. “Seandainya kau lebih
cepat,” bisiknya kepadaku.
“Apakah dia sudah pergi?”
kataku ragu.
“Maafkan aku,” ucap Irfan lirih.
Air mata yang sedari tadi
mencoba keluar dari kelopak mataku, kini dengan leluasa keluar dengan
sendirinya. Tuhan, apakah ini nyata? Ataukah hanya mimpi? Apabila ini mimpi,
tolong segera bukakanlah mataku. Namun apabila ini nyata, hilangkanlah
ingatanku untuk selama-lamanya. Apakah aku bisa menghadapi kenyataan ini?
Mengapa gadis itu harus pergi di saat kebahagiaanku mulai datang. Namun, dengan
berat hati aku harus melepas kepergiannya yang merupakan cambuk bagi hatiku.
Hari yang cerah itu adalah
hari pemakamannya. Banyak orang yang datang untuk mendoakan dan melepas
kepergiannya. Begitu pula dengan diriku yang malang ini. Kini aku telah mencoba
untuk melepas kekasih hatiku, gadis yang selalu mencoba mengalihkan perhatianku
dari kesibukan dunia ini.
“Dia berpesan kepadaku
supaya memberikan kunci galeri ini kepadamu setelah ujian selesai, karena dia
takut mengganggu konsentrasimu,” kata Irfan sambil meletakkan benda itu ke
dalam saku jasku.
“Maukah kau menemaniku?”
“Tentu,” kata Irfan sambil
merangkul tubuhku.
Galeri Foto itu merupakan
saksi bisu perjalanan cinta kami. Setelah kucoba membuka pintu, terlihat
berbagai fotografi di dalam Galeri tersebut. Apakah akan ada pameran sore
nanti? Kulangkahkan kakiku menuju foto-foto itu, yang sedari tadi tertutup oleh
kain putih. Kubuka kain itu perlahan, kuamati sejenak, dan aku terkesan
karenanya.
Foto pertama. Terlihat
diriku memakai seragam sedang berjalan di koridor sekolah. Kurasa foto itu
diambil setelah aku menolong Bunga yang terjatuh di koridor sekolah. Kemudian
di bawah foto itu terdapat tulisan demikian, “Apakah lelaki itu tahu, bahwa wajahnya tidak bisa aku hapus dari
ingatanku? Mungkinkah karena senyum menawannya? Aku yakin gadis-gadis lain juga
akan luluh hatinya karena senyum lelaki itu.”
Foto kedua. Terlihat diriku
sedang menuju pohon besar di taman sekolah untuk bersembunyi. “Hari itu aku mencoba menyapanya, walaupun
setengah mati aku takut hal memalukan akan terjadi. Namun, dia malah
meninggalkanku.”
“Apakah kau tahu Bunga, aku
juga merasakan hal yang sama denganmu. Aku tidak bermaksud meninggalkanmu!”
ucapku lirih.
Foto ketiga. Tampak diriku
sedang bergulat di Gedung Taekwondo. “Gadis
mana yang tidak kagum melihat kemampuannya. Aku pasti selalu merasa aman di
sampingnya.”
“Dan aku pasti akan
melindungimu kapanpun dan dimanapun kamu berada,” ucapku lirih.
Foto keempat. Terlihat
diriku di dalam ruang ganti taekwondo. “Tuhan,
mungkinkah aku bisa memeluknya, merasakan kehangatan di dekatnya, dan bersandar
di pundaknya saat aku merasakan kesedihan?”
Foto terakhir. Tampak diriku
membawa es krim dan balon menuju arahnya. “Apakah
dia bisa membaca pikiranku? Aku memang sedang haus, tapi aku harap balon itu
adalah bunga mawar yang akan diberikannya kepadaku.”
“Jangankan bunga mawar.
Kebun mawar akan aku berikan untukmu,” ucapku kembali.
Apakah Bunga membuat semua
ini karena dia tahu waktunya tidak akan lama lagi? Seandainya waktu bisa aku
putar kembali, aku akan menyatakan perasanku sebelum kau pergi meninggalkanku.
Tapi janganlah khawatir Bunga, suatu saat kita pasti akan bertemu di surga. Dan
pada saat itu juga aku akan menyatakan perasanku kepadamu. Aku tidak akan
memintamu menjadi pacarku, tapi aku akan memintamu menjadi bidadari di surga
nanti.